Kecendekiaan
(Amaccangeng)
Macca
berasal dari kata “acca” yang berarti cakap, cendekia, atau intelek. Dalam Lontara
dikatakan bahwa orang yang mengetahui hukum adat dan bijaksana disebut “toaccata”
atau orang pintar kita. Nahh…coba kaji defenisi kecakapan yang didedahkan dalam
bahasa bugis berikut:
Aja nasalaiko acca
sibawa lempu,
Naia riasennge
acca,
De’gaga masussa
napogau,
De’ to ada masussa
nabali ada madeceng malemmae,
Mateppe’i ripadanna
rupa tau,
Naia riasennge
lempu,
Makessing gau’na
Patujui nawa
nawanna,
Madecenngi ampena,
Namatau ri dewata
seuwae. (LPT: 154)
Ungkapan
di atas menunjukkan bahwa ciri manusia cendekia adalah mampu melakukan sesuatu,
mengemukakan pendapat, mampu mengatasi berbagai macam persoalan, sehingga
dipercaya sesamanya. Namun kecendekiaan mesti dibarengi dengan kejujuran. ***
terlebih bagi pemimpin.. kecendekiaan dan kejujuran mesti berumah di jiwanya..
hehe jika tidak.. dak usah jadi pemimpin!!
Pentingnya kecendekiaan dalam mengarungi bahtera
kehidupan, dapat dilirik dalam ungkapan lontara berikut:
Eppa’i tanranna taue namacca (empat cirri orang
cakap):
Malempu’i namatette’
(teguh dalam kejujuran)
Makurang cai’i
(tidak sembarang marah)
Mara’de na rigau’
sitinajae
(selalu berbuat patut)
Makurang paui ri padanna tau (tidak banyak bicara)
Ungkapan
diatas luar biasa kan…. Jadi begini, orang cendekia menyadari dan meyakini
kebenaran yang terkandung dalam kejujuran, sehingga ia tidak perlu ragu untuk
tetap teguh mengamalkan kebenaran yang akhirnya menjelma menjadi suatu
kebiasaan.
Orang
cendekia selalu berbuat patut. Karena ia sadar bahwa harga dirinya dapat
memisahkan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Itulah sebabnya orang cendekia
kurang banyak bicara. Maksudnya.. orang cendekia hanya bicara seperlunya dan
tidak membicarakan hal yang tidak bermanfaat, contohnya bergunjing (eitss..
jadi kagak boleh bergunjing yaa.. bicarakan aja hal hal yang bermanfaat, hehe)
Basennang Saliwangi bertutur:
Ulaweng mammekko’e, salaka mappaue
(Saliwangi 1997)
Artinya: emas yang
diam, perak yang bicara
Maksudnya
begini…berbicaralah seperlunya.. tidak usah membicarakan hal hal yang tidak
bermanfaat. orang yang banyak bicara tetapi tidak mampu membuktikannya dalam
dunia nyata dinamakan “ tau de’na onroi ada tongenna
(orang yang tidak memegang perkataannya)”
*Sumber:
Mashadi Said. Jati Diri Manusia Bugis.
Jakarta: Pro de Leader. 2016. h. 154

Tidak ada komentar:
Posting Komentar