Rabu, 04 Maret 2015

pendidikan berkarakter



“pendidikan karakter, sebuah lagu lama”

Dunia pendidikan sedang gencar-gencarnya menyerukan tentang pendidikan berkarakter, seolah-olah itu adalah sebuah gebrakan baru, namun sebenarnya pendidikan karakter adalah “lagu lama” yang sejak dulu pun telah dirancang meski sedikit pengaplikasian. Namun karena negeri ini telah tecederai oleh generasi yang minim ahklak, maka wacana mengenai pendidikan karakter mencuat kepermukaan seperti barang baru dalam dunia pendidikan.

Latar belakangnya adalah maraknya korupsi birokrasi, tawuran pelajar, pelecehan di lingkungan sekolah, dan masih banyak lagi. Ini membuktikan bahwa karakter bangsa sedang terpuruk, sehingga “wacana pendidikan karakter” langsung saja hangat diperbincangkan. Sejenak melirik kondisi negeri ini, maka wajar saja jika kita bertanya-tanya : “lalu dimana realisasi tujuan pendidikan yang katanya “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ?”

Saya ceritakan sedikit pahaman saya terkait pendidikan berkarakter. Sejauh ini saya berpandangan bahwa pendidikan karakter merupakan proses mendidik yang bertujuan mencetak manusia cerdas dan berakhlak mulia. Banyak fakta yang membuktikan bahwa pendidikan berkarakter belum sepenuhnya terealisasi di indonesia, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, sampai pada lingkungan birokrasi yang pelakunya biasa diagungkan dengan sebutan wakil rakyat. Sungguh miris bahwa karakter bangsa yang terkenal dengan jati diri yang tinggi kini perlahan-lahan runtuh tergerus arus zaman. 

Sangat menyedihkan ketika dikatakan bahwa orang yang korupsi di senayan adalah mereka yang berpendidikan tinggi, dan sangat mengherankan bahwa mereka yang hobi mencubit siswa dan doyan ngomel dengan bahasa yang sangat tidak indah di depan siswanya ternyata adalah guru yang seharusnya menjadi model baik di depan para siswa. Terlebih lagi membuat kita tercengang menyaksikan sebagian besar pola asuhan keluarga yang kurang memberi perhatian kepada buah hatinya, mereka ini biasa disebut manusia karir (manusia yang lebih mementingkan karir ketimbang anaknya). Padahal sebenarnya didikan orang tua sangat menunjang karakter baik seorang anak.

Katanya “Indonesia merdeka”, namun di beberapa lembaga pendidikan kemerdekaan itu justru belum dinikmati oleh para siswa. Kondisinya adalah saya sering menjumpai guru yang memaksakan siswa untuk menyukai matematika, kemudian mengutuk siswa jika nilai matematikanya tidak tuntas, sebagian guru tersebut lebih mengutamakan kecerdasan matematika anak ketimbang kecerdasan yang lain seprti kecerdasan visual, kecerdasan berbahasa, dan kecerdasan musical. Ini jelas tidak peduli terhadap karakter kecerdasan anak.
Mereka belum sadar bahwa setiap anak berbeda dan mereka memiliki kecerdasan yang berbeda (kecerdasan itu jamak). Jadi siswa harus cerdas matematika, coba bayangkan jika siswa hanya cerdas melukis kemudian dipaksa untuk cerdas matematika tanpa memperdulikan potensi melukisnya. Ini seperti memaksa ikan hidup di darat. Jelas mengekang kemerdekaan berpikir adalah pembunuhan karakter.

Di lingkungan keluarga pun demikian, banyak orang tua yang seperti kebakaran jenggot jika mendengar anaknya tidak lulus matematika. Tapi ketika nilai agamanya rendah sebagian orang tua justru biasa-biasa saja. Di Jakarta saya mengajar privat home, kebanyakan orang tua meminta saya untuk mengajar anaknya bahasa inggris, matematika, dan TIK. Saya malah belum pernah menjumpai orang tua yang ingin anaknya diajar agama maupun seni. Mereka menganggap bahwa anak dikatakan cerdas jika nilai matematika, bahasa inggir, dan TIK nya tinggi. Sebagian orang tua tersebut  belum mengerti  bahwa belajar agama dapat meningkatkan kecerdasan spiritual anak, dan itu sangat penting dalam membentuk karakter bangsa yang lebih baik.

Sedikit solusi agar pendidikan mecetak generasi yang berkarakter ahklak mulia adalah pihak orang tua mesti memberikan perhatian kepada anak dan menampilkan perilaku sebagai orang tua yang berahklak karena pendidikan pertama bagi anak adalah di keluarganya. Pihak sekolah/guru seharusnya memberikan kesempatan belajar yang berbeda pada setiap anak yang berbeda, karena mereka mempunyai karakter yang berbeda. Berusahalah mengembangkan karakter anak tersebut sesuai dengan potensi masing-masing, karena guru adalah fasilitator pembelajaran.

Pihak pemerintah tentu harus berperan penting dalam hal ini, seperti mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila dan UUD, ketika ada pengembangan kurikulum baru, sebaiknya pihak sekolah diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan dengan waktu yang cukup. Jangan seperti kurikulum 2013 kemarin, banyak sekolah yang mengadakan pelatihan hanya dalam waktu lima hari. Dalam pikiran saya “ lho kok bisa? Pengembangan kurikulum yang lama hanya dipelajari lima hari?”. Selain itu pemerintah harus melaksanakan Tes CPNS yang bersih, ini akan sangat menunjang keberhasilan pendidikan. 

Peserta didik bukan miniatur guru maupun orang tua, mereka adalah manusia dengan segala potensi yang berbeda. Sebagai pendidik harus mampu memahami dunia peserta didiknya dan mengarahkan kearah pembentukan karakter (akhlak mulia). Pendidikan karakter sebaiknya terintegrasi dalam setiap mata pelajaran di sekolah, dan pendidikan karakter sebaiknya ada pada setiap polah asuh orang tua.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar