“pendidikan
karakter, sebuah lagu lama”
Dunia
pendidikan sedang gencar-gencarnya menyerukan tentang pendidikan berkarakter, seolah-olah
itu adalah sebuah gebrakan baru, namun sebenarnya pendidikan karakter adalah “lagu lama” yang sejak dulu pun telah
dirancang meski sedikit pengaplikasian. Namun karena negeri ini telah tecederai
oleh generasi yang minim ahklak, maka wacana mengenai pendidikan karakter
mencuat kepermukaan seperti barang baru dalam dunia pendidikan.
Latar belakangnya adalah maraknya korupsi
birokrasi, tawuran pelajar, pelecehan di lingkungan sekolah, dan masih banyak
lagi. Ini membuktikan bahwa karakter bangsa sedang terpuruk, sehingga “wacana
pendidikan karakter” langsung saja hangat diperbincangkan. Sejenak melirik kondisi
negeri ini, maka wajar saja jika kita bertanya-tanya : “lalu dimana realisasi
tujuan pendidikan yang katanya “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
ahklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ?”
Saya
ceritakan sedikit pahaman saya terkait pendidikan berkarakter. Sejauh ini saya
berpandangan bahwa pendidikan karakter merupakan proses mendidik yang bertujuan
mencetak manusia cerdas dan berakhlak mulia. Banyak fakta yang membuktikan
bahwa pendidikan berkarakter belum sepenuhnya terealisasi di indonesia, mulai
dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, sampai pada lingkungan birokrasi
yang pelakunya biasa diagungkan dengan sebutan wakil rakyat. Sungguh miris
bahwa karakter bangsa yang terkenal dengan jati diri yang tinggi kini
perlahan-lahan runtuh tergerus arus zaman.
Sangat
menyedihkan ketika dikatakan bahwa orang yang korupsi di senayan adalah mereka
yang berpendidikan tinggi, dan sangat mengherankan bahwa mereka yang hobi
mencubit siswa dan doyan ngomel dengan bahasa yang sangat tidak indah di depan
siswanya ternyata adalah guru yang seharusnya menjadi model baik di depan para
siswa. Terlebih lagi membuat kita tercengang menyaksikan sebagian besar pola
asuhan keluarga yang kurang memberi perhatian kepada buah hatinya, mereka ini
biasa disebut manusia karir (manusia yang lebih mementingkan karir ketimbang
anaknya). Padahal sebenarnya didikan orang tua sangat menunjang karakter baik
seorang anak.
Katanya
“Indonesia merdeka”, namun di
beberapa lembaga pendidikan kemerdekaan itu justru belum dinikmati oleh para
siswa. Kondisinya adalah saya sering menjumpai guru yang memaksakan siswa untuk
menyukai matematika, kemudian mengutuk siswa jika nilai matematikanya tidak
tuntas, sebagian guru tersebut lebih mengutamakan kecerdasan matematika anak
ketimbang kecerdasan yang lain seprti kecerdasan visual, kecerdasan berbahasa,
dan kecerdasan musical. Ini jelas tidak peduli terhadap karakter kecerdasan
anak.
Mereka
belum sadar bahwa setiap anak berbeda dan mereka memiliki kecerdasan yang berbeda
(kecerdasan itu jamak). Jadi siswa harus cerdas matematika, coba bayangkan jika
siswa hanya cerdas melukis kemudian dipaksa untuk cerdas matematika tanpa
memperdulikan potensi melukisnya. Ini seperti memaksa ikan hidup di darat. Jelas
mengekang kemerdekaan berpikir adalah pembunuhan karakter.
Di lingkungan
keluarga pun demikian, banyak orang tua yang seperti kebakaran jenggot jika
mendengar anaknya tidak lulus matematika. Tapi ketika nilai agamanya rendah sebagian
orang tua justru biasa-biasa saja. Di Jakarta saya mengajar privat home, kebanyakan orang tua
meminta saya untuk mengajar anaknya bahasa inggris, matematika, dan TIK. Saya malah
belum pernah menjumpai orang tua yang ingin anaknya diajar agama maupun seni. Mereka
menganggap bahwa anak dikatakan cerdas jika nilai matematika, bahasa inggir,
dan TIK nya tinggi. Sebagian orang tua tersebut belum mengerti bahwa belajar agama dapat meningkatkan kecerdasan
spiritual anak, dan itu sangat penting dalam membentuk karakter bangsa yang
lebih baik.
Sedikit
solusi agar pendidikan mecetak generasi yang berkarakter ahklak mulia adalah
pihak orang tua mesti memberikan perhatian kepada anak dan menampilkan perilaku
sebagai orang tua yang berahklak karena pendidikan pertama bagi anak adalah di
keluarganya. Pihak sekolah/guru seharusnya memberikan kesempatan belajar yang
berbeda pada setiap anak yang berbeda, karena mereka mempunyai karakter yang
berbeda. Berusahalah mengembangkan karakter anak tersebut sesuai dengan potensi
masing-masing, karena guru adalah fasilitator pembelajaran.
Pihak
pemerintah tentu harus berperan penting dalam hal ini, seperti mengembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman tanpa menghilangkan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila dan UUD, ketika ada
pengembangan kurikulum baru, sebaiknya pihak sekolah diberi kesempatan untuk
mengikuti pelatihan dengan waktu yang cukup. Jangan seperti kurikulum 2013
kemarin, banyak sekolah yang mengadakan pelatihan hanya dalam waktu lima hari. Dalam
pikiran saya “ lho kok bisa? Pengembangan kurikulum yang lama hanya dipelajari
lima hari?”. Selain itu pemerintah harus melaksanakan Tes CPNS yang bersih, ini
akan sangat menunjang keberhasilan pendidikan.
Peserta
didik bukan miniatur guru maupun orang tua, mereka adalah manusia dengan segala
potensi yang berbeda. Sebagai pendidik harus mampu memahami dunia peserta
didiknya dan mengarahkan kearah pembentukan karakter (akhlak mulia). Pendidikan
karakter sebaiknya terintegrasi dalam setiap mata pelajaran di sekolah, dan
pendidikan karakter sebaiknya ada pada setiap polah asuh orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar